MAKALAH
AGROFORESTRY
KAJIAN ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN
BUDAYA AGROFORESTRY
Dosen Pengasuh :Ir.Ida Sari Siregar, MP
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GRAHA NUSANTARA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,karena atas segenap Rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul”KAJIAN ASPEK SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA AGROFORESTRY ”. Dalam penulisa makalah ini penulis tak lupa mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam penulisa makalah ini.
Penulis menyadari segala yang penulis tulis pada makalah ini masih kurang sempurna, maka segala saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini akan senantiasa penulis nanatikan. Penulis juga berharap yang ditulis dalam makalah ini dapat berguna bagi pembaca.
Padangsidimpuan ,04 Juni 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................ i
DAFTAR ISI................................................................................ ii
BAB.I PENDAHULUAN........................................................... 1
1.1. Latar Belakang............................................................ 1
1.2.Tujuan........................................................................... 1
BAB.II PEMBAHASAN............................................................. 2
2.1.Pengertian Agroforestry................................................ 2
2.2.Sejarah Perkembangan Agroforestry.......................... 2
2.3.Ruang Lingkup Aagroforestry..................................... 3
2.4.Tujuan dan Sasaran Agroforestry............................... 4
2.5.Kajaian Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya
Agroforestry.................................................................. 5
2.5.1. Kelayakan (Feasibility)........................................... 5
2.5.2. Keuntungan (Profitability)..................................... 11
2.5.3. Kemudahan untuk diterima (Acceptibility).......... 17
2.5.4. Jaminan kesinambungan (sustainability).............. 19
BAB.III KESIMPULAN............................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA
BAB.I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Hutan merupakan potensi atau kekayaan alam yang apabila dikelola dengan baik dan bijak akan memberikan manfaat yang besar bagi hidup dan kehidupan, tidak saja bagi manusia melainkan juga bagi seluruh kehidupan di alam ini.
Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang dapat ditawarkan untuk memanfaatkan lahan di bawah tegakan hutan tanaman yang juga dapat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Alviya dan Suryandari (2006), agroforestri mempunyai fungsi sosial, ekonomi dan ekologi. Dengan pola agroforestri diharapkan tujuan pemanfaatan hutan rakyat untuk penanaman kayu penghasil pulp dapat mengakomodir tujuan utamanya yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mengindahkan prinsip-prinsip kelestarian hutan.
Keberadaan pohon dalam agroforestri mempunyai dua peranan utama.
Pertama, pohon dapat mempertahankan produksi tanaman pangan dan memberikan pengaruh positif pada lingkungan fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan hara dan energi, dan menahan daya perusak air dan angin. Kedua, hasil dari pohon berperan penting dalam ekonomi rumah tangga petani. Pohon dapat menghasilkan 1) produk yang digunakan langsung seperti pangan, bahan bakar, bahan bangunan; 2) input untuk pertanian seperti pakan ternak, mulsa; serta 3) produk atau kegiatan yang mampu menyediakan lapangan kerja atau penghasilan kepada anggota rumah tangga.
Dengan demikian, pertimbangan sosial ekonomi dari suatu sistem agroforestri merupakan faktor penting dalam proses pengadopsian sistem tersebut oleh pengguna lahan maupun pengembangan sistem tersebut baik oleh peneliti, penyuluh, pemerintah, maupun oleh petani sendiri.
1.2.Tujuan
Mahasiawa mengetahui aspek sosial,ekonomi dan budaya agroforestry
BAB.II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Agroforestry
Agroforestry menurut Huxley (dalam Suharjito et al.) merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.
Agroforestry telah menarik perhatian peneliti-peneliti teknis dan sosial akan pentingnya pengetahuan dasar pengkombinasian antara pepohonan dengan tanaman tidak berkayu pada lahan yang sama, serta segala keuntungan dan kendalanya. Penyebarluasan agroforestry diharapkan bermanfaat selain mencegah
perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumber daya hutan, dan meningkatnya mutu pertanian serta menyempurnakan intesifikasi dari diversifikasi silvikultur (Hariah et al, 2003).
2.2. Sejarah Perkembangan Agroforestry
Pemikiran tentang pengkombinasian komponen kehutanan dengan pertanian sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Pohon-pohon telah dimanfaatkan dalam sistem pertanian sejak pertama kali aktivitas bercocok tanam dan memelihara ternak dikembangkan. Sekitar tahun 7000 SM terjadi perubahan budaya manusia dalam mempertahankan eksistensinya dari pola berburu dan mengumpulkan makanan ke bercocok tanam dan beternak. Sebagai bagian dari proses ini mereka menebang pohon, membakar serasah dan selanjutnya melakukan budidaya tanaman. Dari sini lahirlah pertanian tebas bakar yang merupakan awal agroforestry.
Tradisi pemeliharaan pohon dalam bentuk kebun pada areal perladangan, pekarangan dan tempat-tempat penting lainnya oleh masyarakat tradisional itu dikarenakan nilai-nilainya yang dirasakan tinggi sejak manusia hidup dalam hutan. Menurut Hariah (2003) pada akhir abad XIX, pembangunan hutan tanam menjadi tujuan utama. Agroforestry dipraktekkan sebagai sistem pengelolaan lahan. Pada pertengahan 1800-an dimulai penanaman jati di sebuah daerah di Birma oleh Sir Dietrich Brandis. Penanaman jati dilakukan melalui taungya, diselang-seling atau dikombinasikan dengan tanaman pertanian. Kelebihan sistem
ini bukan hanya dapat menghasilkan bahan pangan, tetapi juga dapat mengurangi biaya pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman yang memang sangat mahal. Selanjutnya taungya dikenal di Indonesia sebagai tumpangsari. Banyak ahli yang
berpendapat bahwa sistem taungya adalah cikal bakal agroforestri modern. Agroforestry klasik atau tradisional sifatnya lebih polikultur dan lebih besar manfaatnya bagi masyarakat setempat dibandingkan agroforestry modern. Agroforestry modern hanya melihat komuninasi antara tanaman keras atau pohon komersial dengan tanaman sela terpilih. Dalam agroforestry modern, tidak terdapat lagi keragaman kombinasi yang tinggi dari pohon yang bermanfaat atau juga satwa liar yang menjadi terpadu dari sistem tradisional (Hariah K et al, 2003)
2.3. Ruang Lingkup Agroforestry
Pada dasarnya agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu : kehutanan, pertanian, dan peternakan. Masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau kelompok produk yang serupa. Menurut Sa’ad (2002) Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi
yakni:
1 Agrosilvikultur merupakan kombinasi tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi hasil-hasil pertaniandan kehutanan.
2 Silvopastura merupakan kombinasi padang rumput (makanan ternak dan pohon), pengelolaan lahan hutan yang memproduksi hasil kayu dengan, dan sekaligus pemeliharaan ternak.
3 Agrosilvopastural merupakan kombinasi tanaman, padang rumput (makanan ternak dan pohon) pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak.
4 Silvofishery merupakan kombinasi kegiatan kehutanan dan perikanan.
5 Apiculture merupakan budi daya lebah madu yang dilakukan pada komponen kehutanan.
6 Sericulture merupakan budi daya ulat sutra yang dilakukan pada komponen kehutanan.
Dalam bahasa Indonesia , kata agroforestry dikenal dengan istilah wana tani yang artinya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De foresta dan Michon (dalam Hariah et al.) agroforestry dapat dikelompokkan
menjadi dua sistem yakni :
1 Agroforestry sederhana merupakan sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lainnya misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.
2 Agroforestry kompleks merupakan sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan, contohnya hutan dan kebun.
2.4.Tujuan dan Sasaran Agroforestry
Agroforestry merupakan bentuk dari sistem pertanian yang orisinil di daerah-daerah yang semula lahannya berupa hutan. Sistem agroforestry memiliki peluang yang menjanjikan dengan produksi tanaman semusim dan tahunan, tetapi juga mengintegrasikan usaha peternakan. Secara ekologis agronomis, ternyata dapat menunjukkan banyak manfaat yang tidak dijumpai pada sistem agroforestry maka secara umum pohon-pohon akan menyediakan struktur pemanenan di atas dan di bawah tanah bagi sistem tanam (Arief, 2001).
Sebagaimana pemanfatan lahan lainnya, agroforestry dikembangkan untuk memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestry diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan sering kali sifatnya mendesak. Agroforestry utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem keberlanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan.
Adapun yang menjadi tujuan dari pelaksanaan sistem agroforestry menurut Von Maydell (dalam Hariah et al.) yakni : menjamin dan memperbaiki kebutuhan pangan, memperbaiki penyediaan energi lokal khususnya produksi kayu bakar, meningkatkan dan memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi bahan mentah kehutanan maupun pertanian, memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat miskin banyak dijumpai, memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat (Hariah et al , 2003).
2.5.Kajian Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestry
Terdapat empat aspek dasar yang mempengaruhi keputusan petani untuk menerapkan atau tidak menerapkan agroforestri, yaitu:
Ø Kelayakan (feasibility)
Ø Keuntungan (profitability)
Ø Dapat tidaknya diterima (acceptibility)
Ø Kesinambungan (sustainability)
2.5.1. Kelayakan (Feasibility)
Faktor kelayakan mencakup aspek apakah petani mampu mengelola
agroforestri dengan sumber daya dan teknologi yang mereka punyai, apakah
mereka mampu untuk mempertahankan dan bahkan mengembangkan sumber
daya dan teknologi tersebut.
1 Sumber Daya yang Tersedia
Status ekonomi
Hutan merupakan sistem penggunaan lahan yang ‘tertutup’ dan tidak ada campur tangan manusia. Masuknya kepentingan manusia secara terbatas misalnya pengambilan hasil hutan untuk subsisten tidak mengganggu hutan dan fungsi hutan. Tekanan penduduk dan ekonomi yang semakin besar mengakibatkan pengambilan hasil hutan semakin intensif (misalnya penebangan kayu) dan bahkan penebangan hutan untuk penggunaan yang lain misalnya perladangan, pertanian atau perkebunan. Gangguan terhadap hutan semakin besar sehingga fungsi hutan juga berubah
Penanaman pohon-pohon ditentukan oleh faktor tingkat kekayaan (menurut ukuran lokal) dan status lahan. Jumlah rumah tangga miskin (menguasai lahan sempit) yang menanam pohon-pohon lebih sedikit daripada rumah tangga kaya, demikian pula jumlah pohon yang ditanam oleh rumatangga miskin lebih sedikit daripada jumlah pohon rumah tangga kaya (menguasai lahan luas). Rumah tangga miskin yang menguasai lahan sempit lebih cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman pangan atau tanaman perdagangan daripada tanaman pohon-pohon (Brokensha dan Riley, 1987).
Di hutan tumbuh beraneka spesies pohon yang menghasilkan kayu dengan berbagai ukuran dan kualitas yang dapat dipergunakan untuk bahan bangunan (timber). Kayu bangunan yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi.
Luas lahan
Hutan menempati ruangan (space) di permukaan bumi, terdiri dari komponen-komponen tanah, hidrologi, udara atau atmosfer, iklim, dan sebagainya dinamakan ‘lahan’. Lahan sangat bermanfaat bagi berbagai kepentingan manusia sehingga bisa memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pemilikan lahan yang sempit cenderung mengurangi minat budidaya pohonpohon Peningkatan kepadatan penduduk berarti peningkatan ketersediaan tenaga kerja per unit lahan, sehingga petani lebih memilih tanaman-tanaman yang lebih intensif (Berenschot et al., 1988; Pengaruh luas lahan terhadap pilihan praktek agroforestri tergantung pada faktor lainnya, misalnya ketersediaan alternatif sumber-sumber ekonomi
keluarga dan pola komposisi jenis tanaman menurut intensitas waktu panen.
Kualitas lahan
Berdasarkan penelitiannya pada masyarakat petani di Peru – Amazon, Loker (1993) menunjukkan bahwa dalam kondisi alam yang sulit (lahan tidak subur atau miskin) petani Peru telah mengembangkan sistem pertanian campuran
yang mencakup budidaya tanaman setahun (a.l. padi, jagung, ubi kayu), budi daya tanaman tahunan (a.l. sitrus, mangga), dan pemeliharaan ternak sapi. Lahan yang tersedia sangat luas, sedangkan ketersediaan tenaga kerja terbatas. Pemeliharaan ternak sapi, meskipun dipandang telah menyebabkan kerusakan lingkungan (degradasi lahan), merupakan strategi hidup yang penting dan memberikan keuntungan ganda bagi peternak. Dengan penggunaan lahan cara agroforestry akan meningkatkan produktivitas tanah salah satunya dipengaruhi oleh sifat fisik tanah sehingga pengolahan tanah yang baik dan teratur dapat meningkatkan kesuburan fisik tanah (Nawawi, 2001).tersedianya unsur hara dalam tanah akibat dari serasah yang terurai akan meningkatkan bahan organik di dalam tanah atau lahan dan kualitas lahanpun terjamin untuk meningkatkan produksi.
Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap jasa lingkungan (environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung DAS (daerah aliran sungai),mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran agroforestri dalam mepertahankan fungsi DAS dan pengurangan konsentrasi gas rumah kaca diatmosfer melalui penyerapan gas CO2 yang telah ada di atmosfer oleh tanaman dan mengakumulasikannya dalam bentuk biomasa tanaman, maka agroforestri sering dipakai sebagai salah satu contoh dari “Sistem Pertanian Sehat” (Widianto, et al. 2003).
Tenaga kerja dan alokasinya
Pengelolaan agroforestri melibatkan suatu organisasi sosial. Pada tingkat keluarga atau rumah tangga terwujud pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak. Pengelolaan agroforestri oleh suatu keluarga atau rumah tangga merupakan bagian dari keseluruhan pengelolaan sumber daya keluarga atau rumah tangga. Ketersediaan tenaga kerja dan pola pembagian kerja dalam keluarga atau rumah tangga mempengaruhi pilihannya
untuk mengembangkan agroforestri.
Pengaruh faktor ketersediaan tenaga kerja terhadap pilihan budi daya pohon pohon ditunjukkan oleh kasus di pedesaan Jawa (Berenschot et al.,1988; Van Der Poel dan Van Dijk, 1987) dan Afrika bagian Timur (Warner, 1995). Rumah tangga yang kekurangan tenaga kerja pada musim-musim tertentu karena kegiatan migrasi cenderung membudidayakan pohon-pohon karena budi daya pohon-pohon membutuhkan masukan tenaga kerja yang rendah dan memberikan pendapatan yang relatif tinggi.
Paolisso et al. (1999) berdasarkan penelitiannya di Yuscaran – Honduras, menjelaskan bahwa respon rumah tangga petani terhadap degradasi lahan dipengaruhi oleh gender dan struktur demografi rumah tangga. Kultur masyarakat Yuscaran menekankan bahwa pertanian adalah pekerjaan laki-laki. Namun kondisi degradasi lahan pertanian telah meningkatkan peran perempuan pada kegiatan pertanian. Curahan waktu kerja laki-laki pada budidaya jagung secara positif dipengaruhi oleh kualitas lahan dan secara negatif oleh kemudahan (kepekaan) erosi lahan. Tenaga kerja laki-laki pada rumah tangga yang lahan pertaniannya marjinal (miskin) dan peka erosi cenderung meninggalkan pertaniannya dan bekerja di sektor non-pertanian (offfarm). Sehingga beban tenaga kerja perempuan cenderung bertambah berat, yakni bukan hanya bertanggung jawab untuk kegiatan reproduksi melainkan juga untuk kegiatan produksi yakni bekerja pada lahan pertaniannya. Peran tenaga kerja perempuan tersebut tergantung ketersediaan tenaga kerja anak dewasa yang dapat membantu bekerja dan keberadaan anak bayi dan balita.
2 Teknologi pendukung
Banyak penelitian yang menghasilkan rekomendasi penanganan dan pemecahan masalah yang dihadapi petani dalam mengelola agroforestri. Kenyataannya, banyak petani yang tidak melaksanakan apa yang direkomendasikan oleh peneliti. Alasan utama yang menyebabkan penolakan adopsi inovasi di tingkat petani:
a) Terdapat perbedaan pandangan antara penyedia dengan pelaku teknologi
Hasil rekomendasi yang diberikan seringkali didasarkan pada sudut pandang atau pengetahuan peneliti. Rekomendasi yang diberikan adalah apa yang
seharusnya dilakukan bila dilihat dari sudut pandang ilmiah. Namun para petani memiliki pertimbangan dan pemahaman yang berbeda, sehingga apa yang mereka lakukan tidak selalu sesuai dengan rekomendasi atau tawaran teknologi yang diberikan oleh peneliti.
b) Ada hambatan komunikasi antara penyedia dengan pelaku teknologi
Rekomendasi teknologi seringkali dikemas dengan bahasa ilmiah. Bahasa ilmiah sangat berbeda dengan bahasa petani. Bahasa ilmiah seringkali sulit dicari padanannya dalam bahasa sehari-hari. Hambatan komunikasi antara penyedia dengan pelaku teknologi kemungkinan juga disebabkan oleh rendahnya penyediaan sarana dan prasarana komunikasi, termasuk kelangkaan tempat atau orang di mana pelaku teknologi dapat bertanya tentang masalah agroforestri pada lahannya. Terbinanya komunikasi yang lebih intim antara penyedia dan pelaku teknologi dapat meningkatkan kepekaan peneliti akan masalah yang dihadapi di lapangan.
c) Penyeragaman teknologi untuk berbagai plot pada berbagai bentang lahan
Bentang lahan yang berbeda akan mempunyai sifat dan ciri yang berbeda pula, sehingga setiap sistem agroforestri pada bentang lahan yang berbeda akan
memerlukan penanganan dan teknologi yang berbeda.
3 Orientasi produksi
Alasan utama yang mendasari keputusan rumah tangga petani untuk menerapkan agroforestri adalah keuntungan finansial dari hasil pohon. Namun banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang dapat disediakan dari sistem agroforestri merupakan pendorong utama sebagian besar rumah tangga petani untuk menanam pohon. Perubahan pertanian dari yang semula subsisten menjadi semakin komersial menyebabkan penanaman pohon pada skala petani menjadi lebih rentan terhadap pengaruh ekonomi. Kemudahan akses ke pasar untuk menjual hasil pohon menciptakan peluang terciptanya sumber penghasilan, dan memberikan peluang untuk menukar input yang semula tersedia dari pohon dengan input lain, misalnya pupuk.
a Dari subsisten ke komersial
Orientasi produksi agroforestri dapat dibedakan menjadi subsisten dan komersial. Orientasi ekonomi masyarakat berburu-meramu (hunting dan gathering), peladang berpindah (ladang gilir-balik = shifting cultivation atau swidden agriculture), dan petani kecil (peasant) adalah subsisten, artinya kegiatan ekonominya diorientasikan terutama untuk memenuhi kebutuhan keluarga (konsumsi), bukan untuk meningkatkan modal (kapital) melalui investasi ulang (reinvestation). Sedangkan petani besar yang mengusahakan tanaman perdagangan cenderung berorientasi komersial. Pengertian subsisten dan komersial dalam tulisan ini dimaksudkan secara sederhana untuk menggambarkan adanya orientasi produksi agroforestri untuk dikonsumsi sendiri atau untuk dipasarkan, bukan dimaksudkan untuk menggambarkan adanya model produksi kapitalis (the capitalist mode of production). Orientasi subsisten mengarahkan pilihan-pilihan jenis tanaman untuk dapat dikonsumsi sendiri, sedangkan orientasi komersial mengarahkan pilihan-pilihan jenis tanaman yang dapat dipasarkan. Perubahan orientasi pasar dari subsisten ke komersial seringkali merupakan ancaman terhadap keberlanjutan sistem agroforestri.
b Kehidupan yang semakin konsumtif
Layanan lingkungan sebagai salah satu peran penting agroforestri menjadi
tidak begitu penting. Hal ini terjadi pada daerah yang mengalami 1) integrasi yang lebih besar ke dalam suatu ekonomi pasar, yang mengutamakan kebutuhan konsumsi pribadi jangka pendek di atas kebutuhan hidup komunal dalam jangka panjang, atau 2) kemiskinan begitu ekstrim hingga hanya bisa menjamin kelangsungan hidup sehari-hari (Rhoades, 1988 dalam Reinjtjes et al., 1992). Meningkatnya hubungan masyarakat desa dengan masyarakat industri/kota, dapat menyebabkan makin tingginya kebutuhan uang untuk membeli produk industri, atau menciptakan kehidupan yang lebih konsumtif.
c Pemenuhan kebutuhan
Untuk konsumsi sendiri dan pemasaran lokal secara langsung, bukan hanya kuantitas, tetapi juga kualitas menjadi bahan pertimbangan penting. Kemudahan akses ke pasar dan harga pasar bagi produk pertanian dibandingkan pohon akan menentukan apakah petani memilih menanam pohon di lahan mereka atau tidak.
4 Pengetahuan lokal petani
Diseminasi informasi tentang teknik-teknik agroforestri seringkali merupakan isu yang agak sensitif. Dalam mempromosikan teknik agroforestri, peneliti dan pakar harus menyadari dan peka terhadap peran dan pengetahuan petani akan lahan mereka sendiri. Mereka juga harus peka terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga petani. Petani telah mempraktekkan agroforestri selama berabad-abad. Tidak jarang mereka berpedoman bahwa lebih baik menerapkan teknik yang sudah biasa mereka lakukan dibandingkan dengan menerapkan sesuatu yang masih baru (dan dibawa oleh orang luar). Petani akan lebih mudah mengadopsi agroforestri jika mereka terbiasa dengan penggunaan pohon dalam sistem pertanian, dan mengetahui bahwa integrasi pohon ke dalam proses produksi pangan telah sukses dilakukan oleh petani yang lain. Memang, risiko kegagalan akan lebih besar pada petani dengan teknik ilmiah baru daripada dengan teknik tradisional. Jadi inovasi penyesuaian terhadap teknik tradisional akan mengurangi risiko kegagalan agroforestri.
5 Kebijakan pendukung
Kebijakan pemerintah dapat menjadi pendorong agroforestri ke arah kegagalan atau keberhasilan. Beberapa kebijakan yang menghambat produksi dan penjualan atau pemasaran produk agroforestri sedapat mungkin diperbaiki. Sebagai contoh, perubahan kebijakan penanaman cendana di Nusa Tenggara Barat. Perubahan kebijakan pada tahun 1999 mendorong petani untuk menerapkan agroforestri dengan cendana sebagai salah satu komponennya. Sebelumnya, petani menganggap cendana sebagai ‘kayu pembawa bencana’. Kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak misalnya dapat mengakibatkan semakin tingginya harga input produksi tanaman pangan. Hal ini ditunjang dengan pengurangan subsidi pupuk sampai ke tingkat harga yang tidak terjangkau petani. Di pihak lain, pada lahan-lahan yang kualitas kesuburannya rendah, kebutuhan pupuk semakin besar jika petani ingin mempertahankan tingkat produksi. Kondisi ini dapat dimanfaatkan sebagai pendorong bagi penerapan dan pengembangan agroforestri
2.5.2.Keuntungan (Profitability)
Agroforestri lebih menguntungkan dibandingkan sistem penggunaan lahan yang lain, perlu diingat bahwa sistem produksi agroforestri memiliki suatu kekhasan, di antaranya:
Ø Menghasilkan lebih dari satu macam produk
Ø lahan yang sama ditanam paling sedikit satu jenis tanaman semusim dan satu jenis tanaman tahunan/pohon
Ø Produk-produk yang dihasilkan dapat bersifat terukur (tangible) dan tak terukur (intangible)
Ø Terdapat kesenjangan waktu (time lag) antara waktu penanaman dan pemanenan produk tanaman tahunan/pohon yang cukup lama
Analisis ekonomi terhadap suatu sistem agroforestri harus memperhatikan ciri ciri sistem agroforestri tersebut di atas.
1) Konsep ekonomi
Sistem agroforestri dapat dikatakan menguntungkan apabila 1) dapat menghasilkan tingkat output yang lebih banyak dengan menggunakan jumlah input yang sama, atau 2) membutuhkan jumlah input yang lebih rendah untuk menghasilkan tingkat output yang sama. Kondisi ini dicapai apabila ada interaksi antar komponen yang saling menguntungkan baik dari segi biofisik, maupun ekonomi. Interaksi biofisik (dalam Bahan Ajaran 4) sebenarnya mencerminkan interaksi ekonomi, apabila output fisik per satuan lahan diubah menjadi nilai uang per satuan biaya faktor produksi. Seperti juga dalam interaksi biofisik, interaksi ekonomi antar komponen dalam sistem agroforestri dapat bersifat menguntungkan, netral, maupun kompetitif. Dasar penerapan agroforestri adalah interaksi biofisik yang positif, yang akan menghasilkan interaksi ekonomi yang positif pula Kenaikan output pada tingkat sumber daya yang sama, dapat disebabkan oleh kenaikan jumlah output fisik atau kenaikan harga per satuan output. Yang pertama mungkin disebabkan interaksi biofisik yang positif, yang kedua dapat disebabkan kualitas produk atau waktu panen yang tepat. Demikian juga penurunan biaya input dapat disebabkan oleh penurunan jumlah output yang dibutuhkan, atau penurunan harga per satuan input. Pada umumnya, interaksi biofisik yang positif akan menghasilkan penurunan biaya input, misalnya dari segi tenaga kerja dan penggunaan sumber daya yang lain.
Adanya naungan pohon dapat menekan pertumbuhan gulma, sehingga kebutuhan tenaga kerja berkurang. Dengan adanya berbagai komponen dengan waktu panen yang berbeda, distribusi tenaga kerja menjadi merata. Contoh yang lain, di Costa Rica kopi yang ditanam di bawah naungan Cordia alliodora mengalami panen raya 2,5 minggu lebih lambat dibandingkan dengan yang tanpa naungan (Hoekstra, 1990). Hal ini membuat petani memiliki posisi tawar yang relatif tinggi, karena terhindar dari surplus produksi pada saat yang bersamaan.
a) Kurva kemungkinan produksi
Analisis ekonomi terhadap suatu sistem agroforestri harus memperhatikan ciriciri sistem agroforestri. Hal itu dapat dijelaskan dengan penggunaan kurva kemungkinan produksi bagi kombinasi produksi tanaman setahun dan tanaman tahunan/pohon (Gambar 1). Kurva Kemungkinan Produksi Jangka Pendek (Nair, 1993)
Pada kondisi nyata di lapangan, produksi dari suatu sistem agroforestri membutuhkan jangka waktu lama untuk dapat menghasilkan produk dari spesies tanaman tahunan. Selain itu manfaat keberadaan sistem agroforestri terhadap lingkungan tidak bisa dilihat dalam waktu pendek. Oleh karena itu analisis jangka panjang dianggap lebih tepat untuk melihat keseluruhan keuntungan yang dapat diberikan oleh suatu sistem agroforestri. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui kurva kemungkinan produksi jangka panjang yang berbentuk tiga dimensi (Gambar 2). Kemungkinan Produksi Jangka Panjang (Nair, 1993).
Hasil-hasil penelitian memperlihatkan bahwa sistem pertanaman monokultur tanaman semusim/pangan dalam jangka panjang menyebabkan terjadinya penurunan kesuburan lahan yang akhirnya mengakibatkan penurunan produksi tanaman dari tahun ke tahun. Pada Gambar 2 hal itu diperlihatkan apabila produksi tanaman semusim secara monokultur pada saat ini adalah C maka pada jangka panjang tingkat produksi tanaman semusim akan menurun menjadi C'.Oleh karena itu pertanian monokultur umumnya membutuhkan penambahan pupuk buatan maupun pupuk organik yang jumlahnya semakin meningkat setiap tahun. Apabila kebutuhan pangan keluarga itu sebesar S, yang berjumlah tetap dalam jangka panjang (S'), maka kemungkinan kebutuhan subsisten tersebut tidak akan bisa dipenuhi (S' > C'). Sedangkan penanaman tanaman tahunan/pohon jenis-jenis tertentu mampu menjaga kesuburan lahan atau bahkan meningkatkan kesuburan lahan, melalui kemampuan pohon untuk melakukan daur ulang unsur hara. Gambar 2 memperlihatkan produksi tanaman tahunan pada masa sekarang M dan pada masa yang akan datang menjadi M'.Pencampuran tanaman semusim/pangan dan pohon dalam jangka panjang akan menjaga penurunan kesuburan lahan dan produksi tanaman pangan.
Apabila pada saat ini kita menanam tanaman tahunan sebesar a yang dalam jangka panjang akan menjadi a'. Tanaman tahunan/pohon diharapkan mampu mempertahankan kesuburan lahan, sehingga tidak terjadi penurunan produksi tanaman pangan secara drastis pada masa yang akan datang. Apabila hal ini terpenuhi, paling tidak kebutuhan subsisten keluarga akan masih terpenuhi dalam jangka panjang (a").
b) Cara melakukan analisis ekonomi terhadap sistem agroforestri
Tidak seperti sistem produksi yang lain, agroforestri bertujuan untuk kesinambungan produksi. Oleh karena itu, salah satu keuntungan yang diperoleh adalah mencegah terjadinya penurunan output dari sistem produksi masa kini. Salah satu karakteristik agroforestri adalah terjadinya penundaan memperoleh sebagian keuntungan, sedangkan biaya produksi harus dikeluarkan pada awal pelaksanaan. Oleh karena itu, analisis jangka pendek menghasilkan taksiran keuntungan yang lebih rendah dari sesungguhnya, dan hasilnya seolah-olah tidak ekonomis. Gambar 3 menunjukkan konsep pengaruh keuntungan oleh sistem agroforestri.
Gambar 3. Ouput lingkungan dari sistem agroforestri: kelestarian (kiri), peningkatan
(tengah), dan kelestarian serta peningkatan (kanan).
Evaluasi 'dengan' atau 'tanpa' agroforestri
Pendekatan dengan membandingkan antara sistem ‘dengan’ dan ‘tanpa’ agroforestri dianggap sesuai untuk evaluasi ekonomi dari suatu sistem
agroforestri, karena antara lain:
Tidak seperti sistem produksi yang lain, agroforestri bertujuan untuk kesinambungan produksi. Oleh karena itu, salah satu keuntungan yang diperoleh adalah mencegah terjadinya penurunan output dari sistem produksi masa kini. Gambar 3 menunjukkan konsep pengaruh keuntungan oleh sistem agroforestri. Gambar 3 kiri, menunjukkan bahwa agroforestri dapat mempertahankan output, yang mungkin akan selalu mengalami penurunan jika melanjutkan sistem produksi yang telah ada. Gambar 3 tengah menunjukkan bahwa agroforestri mampu meningkatkan produktivitas dari sistem produksi masa kini yang relatif tetap. Sedangkan Gambar 3 kanan menunjukkan bahwa agroforestri bukan hanya dapat mempertahankan produksi tetapi juga dapat meningkatkan produktivitas.
c) Discount rate
Tidak semua biaya dan keuntungan dari agroforestri didapatkan pada saat yang sama, tetapi tersebar selama dilaksanakannya agroforestri. Biaya dan keuntungan tersebut dapat dengan mudah dibandingkan, kalau terdapat pada saat yang sama. Kenyataannya, biaya dan keuntungan dalam agroforestri tidak datang bersamaan, sehingga tidak dapat dibandingkan secara langsung. Dengan mengaplikasikan discount rate, kedua hal tersebut dapat dibandingkan.
2) Indikator finansial
Sistem agroforestri menghasilkan bermacam-macam produk yang jangka waktu pemanenannya berbeda, di mana paling sedikit satu jenis produknya membutuhkan waktu pertumbuhan yang lebih dari satu tahun. Untuk melihat sejauh mana suatu usaha agroforestri memberikan keuntungan, maka analisis yang paling sesuai untuk dipakai adalah analisis proyek yang berbasis finansial.
Analisis finansial pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Melalui cara berpikir seperti itu maka harus ada ukuran-ukuran terhadap kinerjanya. Ukuran-ukuran yang digunakan umumnya adalah
Ø Net Present Value (NPV) atau Nilai Kiwari Bersih,
Ø Benefit Cost Ratio (BCR) atau Rasio Keuntungan Biaya dan
Ø Internal Rate of Return (IRR).
Analisis finansial ditelaah melalui perhitungan dan kriteria investasi yang
meliputi:
Ø Net Present Value (NPV), yaitu nilai saat ini yang mencerminkan nilai keuntungan yang diperoleh selama jangka waktu pengusahaan dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money.
Karena jangka waktu kegiatan suatu usaha agroforestri cukup panjang, maka tidak seluruh biaya bisa dikeluarkan pada saat yang sama, demikian pula hasil yang diperoleh dari suatu usaha agroforestri dapat berbeda waktunya. Untuk mengetahui nilai uang di masa yang akan datang dihitung pada saat ini, maka baik biaya maupun pendapatan agroforestri di masa yang akan datang harus dikalikan dengan faktor diskonto yang besarnya tergantung kepada tingkat suku bunga bank yang berlaku dipasaran.
Suatu usaha termasuk usaha agroforestri akan dikatakan menguntungkan dan sebagai implikasinya akan diadopsi oleh masyarakat atau dapat berkembang, apabila memiliki nilai NPV yang positif. Besaran NPV yang negatif menunjukkan kerugian dari usaha yang dilakukan sehingga tidak layak untuk diusahakan. Makin besar angka NPV maka makin baik ukuran kelayakan usaha. Walaupun demikian untuk lebih jelas melihat tingkat keuntungan dan kerugian suatu usaha maka perlu dilihat tingkat Keuntungan Biaya (Benefit Cost Ratio) dari usaha tersebut.
Ø Benefit Cost Ratio (BCR) yaitu perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran selama jangka waktu pengusahaan (dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money)
Ø Internal Rate of Returns (IRR) menunjukkan tingkat suku bunga maksimum yang dapat dibayar oleh suatu proyek/usaha atau dengan kata lain merupakan kemampuan memperoleh pendapatan dari uang yang diinvestasikan.
Dalam perhitungan, IRR adalah tingkat suku bunga apabila BCR yang terdiskonto sama dengan nol. Usaha agroforestri akan dikatakan layak apabila nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku di pasar pada saat tersebut.
3) Sensitivitas dan Resiliensi
Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kepekaan sebuah kegiatan (proyek) terhadap adanya perubahan-perubahan. Perubahan yang dimaksud baik berupa perubahan nilai input maupun nilai output serta perubahan tingkat suku bunga. Analisis tersebut, bukan saja dapat dipakai untuk mengetahui kepekaan proyek yang bersangkutan, tetapi juga dapat digunakan untuk membandingkan antar alternatif proyek. Sedangkan resiliensi menunjukkan daya tahan usaha agroforestri terhadap berbagai perubahan.
4) Analisis Komparatif
Analisis komparatif ditujukan untuk menentukan pilihan berdasarkan : nilai finansial terbesar dan risiko dari implikasi kebijakan baik yang bersifat insentif maupun disinsentif terhadap sumber daya alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Analisis komparatif yang dimaksud di sini adalah perbandingan antara penggunaan lahan untuk agroforestri dengan penggunaan lahan non agroforestri.
5) Kontribusi pendapatan rumah tangga dan perekonomian wilayah
Agroforestri sebagai suatu sistem produksi tentunya memberikan pendapatan terhadap pengelolanya baik langsung maupun tidak langsung. Analisis ekonomi yang banyak dilakukan di Indonesia adalah melihat seberapa besar suatu sistem agroforestri memberikan kontribusi terhadap pendapatan total keluarga dan juga bagaimana kontribusi hasil dari suatu sistem agroforestri terhadap perekonomian daerah setempat.
2.5.3. Kemudahan untuk diterima (Acceptibility)
Sistem agroforestri dapat dengan mudah diterima dan dikembangkan kalau manfaat sistem agroforestri itu lebih besar daripada kalau menerapkan sistem lain. Aspek ini mencakup atas perhitungan risiko, fleksibilitas terhadap peran gender, kesesuaian dengan budaya setempat, keselerasan dengan usaha yang lain, dsb.
Risiko usaha
Rumah tangga petani dengan lahan sempit sangat mementingkan distribusi produksi yang merata dari waktu ke waktu, sehingga mengamankan kebutuhan sepanjang tahun dan mendayagunakan sumber tenaga kerja yang ada. Jaminan keamanan termasuk meminimalkan risiko produksi atau kerugian sebagai akibat keragaman proses ekologis, ekonomis, atau sosial.
Keragaman ini meliputi fluktuasi ‘kecil’, misalnya perubahan cuaca, serangan hama, perubahan permintaan pasar, taksiran sumber daya, ketersediaan tenaga kerja; atau gangguan ‘besar’, yang disebabkan stress (misalnya kemiskinan
unsur hara, erosi, salinitas, keracunan, utang) atau shock (misalnya kekeringan, banjir, munculnya serangan hama atau penyakit baru, kenaikan harga input yang tajam atau merosotnya harga produk). Ilmuwan seringkali mengungkapkan tingkat keamanan dalam variabilitas produksi, yang didasarkan pada risiko statistik (misalnya kekeringan). Namun petani mungkin menilai keamanan sistem usaha tani mereka menurut keamanan pangan, atau menurut tingkat ketergantungan dalam mendapatkan input, atau dalam pemasaran hasil (Conway, 1987 dalam Reijntjes et al., 1992).
Bagi petani dengan lahan sempit, keamanan produksi bahan subsisten atau
pendapatan adalah hal penting, mengingat keberlanjutan hidup mereka tergantung padanya. Oleh karena itu, mereka membutuhkan akses yang aman pada sumber daya seperti lahan, air, dan pepohonan. Pencarian keamanan mempengaruhi pilihan teknik dan strategi.
Identitas sosial budaya
Sistem penggunaan lahan yang diterapkan secara perorangan harus selaras dengan budaya setempat dan visi masyarakat terhadap kedudukan dan hubungan mereka dengan alam. Bentuk bentang lahan penggunaan lahan dan perkembangannya merupakan bagian dari identitas masyarakat yang hidup di dalamnya. Petani biasanya memiliki kebutuhan yang kuat untuk memihak pada budaya setempat. Sejarah dan tradisi memainkan peranan penting dalam kehidupan, cara dan sistem penggunaan lahan mereka. Perubahan yang tidak selaras dengan nilai-nilai sosial, budaya, spiritual mereka, bisa menyebabkan stress dan menciptakan kekuatan yang berlawanan.
Gender
Gender menggambarkan peran laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari konstruksi sosial budaya. Perbedaan gender dalam suatu masyarakat menggambarkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan, bukan disebabkan oleh perbedaan biologis, melainkan oleh nilai-nilai, norma-norma, hukum, ideologi dari masyarakat yang bersangkutan. Karena gender merupakan hasil konstruksi sosial budaya, maka perbedaan gender dalam suatu masyarakat dapat berubah dari waktu ke waktu.
Dalam aktivitas kehutanan dan agroforestri, perbedaan peran laki-laki dan perempuan tidak terlepas dari perspektif gender dari masyarakatnya. Dalam suatu kelompok masyarakat tertentu perempuan diberi peran penting dalam aktivitas dan akses pada sumber daya agroforestri, sedangkan dalam masyarakat lainnya peran perempuan dipinggirkan atau dimarginalkan. Pemahaman terhadap aspek gender ini sangat penting dalam upaya pengembangan agroforestri untuk mencapai keberhasilan fisik agroforestri maupun sosial ekonomi pengelola agroforestri.
Kesempatan kerja di luar lahan atau di luar sektor pertanian
Penghasilan lain dari luar (off-farm) atau di luar sektor pertanian ini (non-farm) juga memberikan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan tunai jangka pendek, yang tidak bisa menunggu sampai musim panen tiba. Jenis pekerjaan lain yang paling mudah menghasilkan tunai adalah menjual tenaga di bidang pertanian misalnya sebagai buruh tani. Pekerjaan di luar pertanian adalah pedagang, usaha transportasi, tenaga kasar, tukang, karyawan swasta, pemerintah, dan sebagainya. Seringkali dijumpai petani yang merangkap sebagai sopir, pedagang, pegawai, ternyata memiliki tingkat penghasilan yang lebih baik daripada menjadi petani saja. Mereka memiliki kelebihan dibandingkan petani murni, misalnya akses terhadap pasar dan informasi, ketahanan terhadap risiko kegagalan usaha tani dan sebagainya. Petani campuran itu ternyata bisa menjalankan usaha taninya dengan lebih efisien, sehingga usaha taninya lebih berkembang (Hairiah et al., 2000).
2.5.4. Jaminan kesinambungan (sustainability)
Sistem penguasaan lahan dan hasil agroforestri (singkatnya sumber daya agroforestri) menggambarkan tentang sekumpulan hak-hak yang dipegang oleh seseorang atau kelompok orang-orang dalam suatu pola hubungan sosial terhadap suatu unit lahan dan hasil agroforestri dari lahan tersebut. Singkatnya, siapa mempunyai hak apa. Hak-hak itu menunjuk pada aspek hukum dari sistem penguasaan sumber daya agroforestri.
1) Penguasaan lahan
Penguasaan lahan (property right) sangat penting dalam pelaksanaan agroforestri. Apabila tidak ada kepastian penguasaan lahan, maka insentif untuk menanam pohon/agroforestri menjadi sangat lemah, mengingat sistem agroforestri merupakan strategi usaha tani dalam jangka panjang. Investasi yang dilakukan dalam pembukaan lahan dan penanaman pohon akan dinikmati dalam waktu yang lebih panjang. Oleh karena itu diperlukan kepastian pengusahaan lahan dan pohon untuk memberikan jaminan kepada petani untuk menikmati hasil panen.
Privatisasi
Beberapa penelitian telah menjelaskan hubungan antara sistem-sistem penguasaan lahan (land tenure systems) dengan praktek agroforestri. Berdasarkan kasus di Mbeere – Kenya, Brokensha dan Riley (1987) menjelaskan bahwa privatisasi atau pemberian hak milik telah mendorong petani menanam pohon pohon karena alasan kepastian penguasaan lahan (the security of land tenure).
Lahan individu, bukan komunal
Kepastian penguasaan lahan dan jaminan memperoleh manfaat dari agroforestri sebagai faktor penentu bagi praktek agroforestri. Murray (1987) menjelaskan bahwa berdasarkan sistem tenurial/kepemilikan lahan yang ada di Haiti (Amerika Latin), petani melaksanakan budidaya pohon-pohon pada lahan milik individual dan tidak bersedia melaksanakanya pada lahan komunal (commonly owned kin-land) atau lahan negara (state land). Hal ini karena lahan
milik sendiri memberikan jaminan memperoleh manfaat yang lebih besar daripada lahan komunal atau lahan negara.
Petani mengadopsi budidaya pohon-pohon lebih karena alasan ekonomi (cashflow) daripada keuntungan ekologisnya. Berdasarkan kasus di Nigeria (Afrika), Adeyoju (1987) menjelaskan bahwa karena agroforestri lebih membutuhkan modal daripada pertanian tradisional, maka kepastian penguasaan lahan (the security of land tenure) diperlukan oleh petani untuk menjamin investasinya.
2) Penguasaan atas pohon
Dalam kasus-kasus tertentu hak atas lahan dipisahkan dari hak atas hasil agroforestri, sedangkan dalam kasus-kasus lainnya hak atas hasil agroforestri melekat pada hak atas lahan yang digunakan untuk agroforestri. Misalnya, pada masyarakat suku Dayak di pedesaan Kalimantan Barat, siapa yang menguasai lahan sekaligus juga menguasai jenis tumbuhan atau tanaman yang tumbuh di atasnya (Peluso dan Padoch, 1996). Pada masyarakat suku Muyu, Irian Jaya, sagu (dan juga tanaman jenis pohon lain) menjadi simbol hak pemilikan suatu unit lahan (Schoorl, 1970), demikian pula di pedesaan Sukabumi, Jawa Barat (Suharjito, 2002) dan Jawa pada umumnya. Fortmann (1988) menjelaskan bahwa penguasaan atas pohon mencakup sekumpulan hak- hak yang dapat dipegang oleh orang yang berbeda pada waktu yang berbeda.
Ø Kategori hak
Terdapat empat kategori hak atas pohon, yaitu (1) hak untuk memiliki atau mewariskan pohon-pohon; (2) hak untuk menanam pohon; (3) hak untuk menggunakan pohon dan hasil dari pohon; (4) hak untuk memindahtangankan pohon: merusak, memberikan, menyewakan, atau menggadaikan (Fortmann, 1988). Karena hasil agroforestri bukan hanya pohon, maka hak-hak tersebut dapat pula dilekatkan pada hasil agroforestri selain pohon.
Ø Kategori pemegang hak
Pemegang hak (right holders) dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu negara (pemerintah), kelompok, rumah tangga, dan individu. Pemerintah memiliki hak-hak dalam (1) mengatur penggunaan lahan dan hasil agroforestri daripadanya yang dimiliki oleh pihak lain; (2) melarang atau membatasi
penggunaan lahan dan hasil agroforestri pada kawasan hutan tertentu, misalnya kawasan lindung; (3) memberikan ijin penggunaan secara terbatas atas lahan dan hasil agroforestri pada kawasan lindung (Fortmann, 1988).
3) Aspek hubungan sosial
Selain dari aspek hukumnya, sistem penguasaan sumber daya agroforestri mengandung aspek hubungan sosial. Hubungan sosial itu dapat berupa hubungan kerja atau bagi hasil antara pemilik agroforestri dengan buruh tani, hubungan sewa atau gadai antara pemilik lahan dengan penyewa atau penggadai lahan, hubungan kontrak lahan antara pemilik lahan dengan pemilik modal yang mengkontrak lahan untuk budidaya agroforestri. Hubungan sosial itu menunjukkan posisi-posisi dan kekuasaan-kekuasaan orang-orang (pihakpihak) yang terlibat. Siapa (pihak) yang memegang kekuasaan lebih besar terhadap sumber daya agroforestri akan menentukan pola hubungan tersebut dan menentukan sistem agroforestri yang dikembangkan.
Adanya perkembangan sosial ekonomi, hubungan-hubungan sosial berkembang dan aturan penguasaan sumber daya agroforestri semakin kompleks. Misalnya di pedesaan Jawa sudah lama berkembang sistem sewa, gadai, bagi hasil sehingga hak atas lahan dapat terpisah dari hak atas tanaman. Bentuk lain pola kerjasama budidaya agroforestri yang melibatkan dua pemegang hak yang terpisah yaitu pemegang hak atas lahan dan pemegang hak atas tanaman adalah sistem tumpangsari yang dikembangkan oleh Perum Perhutani bekerjasama dengan petani (Kartasubrata, 1995), sistem nurut yang dikembangkan oleh petani di Sukabumi (Suharjito, 2002). Pada masyarakat Ende (Lio) juga berkembang sistem kewe, yaitu penyewaan lahan dari pihak pemilik kepada pihak penyewa, penyewa menyerahkan sejumlah uang atau ternak dan ia dapat menggunakan lahan untuk jangka waktu tertentu (Teluma,2002).
BAB.III
KESIMPULAN
Agroforestry menurut Huxley (dalam Suharjito et al.) merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.
Pada dasarnya agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu : kehutanan, pertanian, dan peternakan. Agroforestry utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem keberlanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan.
Di tingkat petani, keputusan untuk menerapkan dan mengembangkan agroforestri mencakup berbagai hal yang jauh lebih kompleks dari sekedar analisis untung-rugi. Suatu sistem penggunaan lahan dinilai dari bagaimana sistem tersebut dapat memenuhi kebutuhan dasar petani, termasuk pangan, papan, dan penghasilan tunai. Sayangnya, sistem penggunaan lahan yang potensial seringkali dibatasi oleh berbagai faktor lain, seperti kebijakan yang berlaku, infrastruktur yang tersedia, aturan-aturan sosial budaya, ketersediaan sumber daya, kemudahan akses terhadap informasi, dsb. Kesemua faktor tersebut mempengaruhi apakah suatu sistem agroforestri layak untuk dikembangkan, menguntungkan baik secara ekonomi maupun dari segi biofisik, dapat diterima atau paling tidak sesuai dengan sosial budaya setempat, dan terjamin kesinambungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Suharjito, Didik, Leti Sundawati, Suryanto, Sri Rahayu Utami. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestri: PDF. ICRAF. Bogor
Suyanto S, Khususiyah N, Permana RP and MD Angeles. 2002. The Role of
Land Tenure in Improving Sustainbale Land Management and Environment in Forest Zone. Draft report of CIFOR/ICRAF fire project.
Schoorl JW. 1970. Muyu Land Tenure. New Guinea Research Bulletin No. 38:
34-41. The New Guinea Research Unit, The Australian National University. Canbera.
Suharjito D dan S Sarwoprasodjo. 1997. Organisasi Keluarga dan Status Wanita
(Studi Kasus Peranan Wanita Pada Keluarga Penyadap Getah Pinus dan Keluarga Petani Hutan Rakyat). Penelitian OPF. Pusat Studi Wanita, Lembaga Penelitian IPB.Bogor.
Suharjito D, Mugniesyah SM, Guhardja S dan Sri Hartoyo. 1997. Hubungan
Perilaku Manusia dan Lingkungan Binaan (Studi Kasus Gender dalam Pembinaan Program Penghijauan di DAS Cimanuk Hulu, Propinsi Jawa Barat). Penelitian Ilmu Pengetahuan Dasar-Ditjen DIKTI. Pusat Studi Wanita, Lembaga Penelitian IPB.Bogor.
Suharjito D. 2002. Kebun-Talun: Strategi Adaptasi Sosial Kultural dan Ekologi
Masyarakat Pertanian Lahan Kering di Desa Buniwangi, Sukabumi-Jawa Barat. Disertasi, Program Studi Antropologi Universitas Indonesia.
Suryanata K. 2002. Dari Pekarangan menjadi Kebun Buah-Buahan: Stabilisasi
Sumber daya dan Diferensiasi Ekonomi di Jawa. Dalam Murray Li T (Penyunting). Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
Teluma, D.L. 2002. Pengembangan Program Wanatani. Dalam Roshetko JM et
al. (editor). Wanatani di Nusa Tenggara. ICRAF dan Winrock International. Bogor.
Van der Poel P and H van Dijk. 1987. Household Economy and Tree Growing in
Upland Central Java. Agroforestry Systems No. 5: 169-184. Martinus Nijhoff Publishers. Dordrecht. The Netherlands.
Wijayanto N. 2001. Faktor dominan dalam sistem pengelolaan hutan
kemasyarakatan. Disertasi S3, PPS-IPB. Bogor.
AGROFORESTRY
KAJIAN ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN
BUDAYA AGROFORESTRY
Dosen Pengasuh :Ir.Ida Sari Siregar, MP
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GRAHA NUSANTARA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,karena atas segenap Rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul”KAJIAN ASPEK SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA AGROFORESTRY ”. Dalam penulisa makalah ini penulis tak lupa mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam penulisa makalah ini.
Penulis menyadari segala yang penulis tulis pada makalah ini masih kurang sempurna, maka segala saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini akan senantiasa penulis nanatikan. Penulis juga berharap yang ditulis dalam makalah ini dapat berguna bagi pembaca.
Padangsidimpuan ,04 Juni 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................ i
DAFTAR ISI................................................................................ ii
BAB.I PENDAHULUAN........................................................... 1
1.1. Latar Belakang............................................................ 1
1.2.Tujuan........................................................................... 1
BAB.II PEMBAHASAN............................................................. 2
2.1.Pengertian Agroforestry................................................ 2
2.2.Sejarah Perkembangan Agroforestry.......................... 2
2.3.Ruang Lingkup Aagroforestry..................................... 3
2.4.Tujuan dan Sasaran Agroforestry............................... 4
2.5.Kajaian Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya
Agroforestry.................................................................. 5
2.5.1. Kelayakan (Feasibility)........................................... 5
2.5.2. Keuntungan (Profitability)..................................... 11
2.5.3. Kemudahan untuk diterima (Acceptibility).......... 17
2.5.4. Jaminan kesinambungan (sustainability).............. 19
BAB.III KESIMPULAN............................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA
BAB.I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Hutan merupakan potensi atau kekayaan alam yang apabila dikelola dengan baik dan bijak akan memberikan manfaat yang besar bagi hidup dan kehidupan, tidak saja bagi manusia melainkan juga bagi seluruh kehidupan di alam ini.
Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang dapat ditawarkan untuk memanfaatkan lahan di bawah tegakan hutan tanaman yang juga dapat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Alviya dan Suryandari (2006), agroforestri mempunyai fungsi sosial, ekonomi dan ekologi. Dengan pola agroforestri diharapkan tujuan pemanfaatan hutan rakyat untuk penanaman kayu penghasil pulp dapat mengakomodir tujuan utamanya yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mengindahkan prinsip-prinsip kelestarian hutan.
Keberadaan pohon dalam agroforestri mempunyai dua peranan utama.
Pertama, pohon dapat mempertahankan produksi tanaman pangan dan memberikan pengaruh positif pada lingkungan fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan hara dan energi, dan menahan daya perusak air dan angin. Kedua, hasil dari pohon berperan penting dalam ekonomi rumah tangga petani. Pohon dapat menghasilkan 1) produk yang digunakan langsung seperti pangan, bahan bakar, bahan bangunan; 2) input untuk pertanian seperti pakan ternak, mulsa; serta 3) produk atau kegiatan yang mampu menyediakan lapangan kerja atau penghasilan kepada anggota rumah tangga.
Dengan demikian, pertimbangan sosial ekonomi dari suatu sistem agroforestri merupakan faktor penting dalam proses pengadopsian sistem tersebut oleh pengguna lahan maupun pengembangan sistem tersebut baik oleh peneliti, penyuluh, pemerintah, maupun oleh petani sendiri.
1.2.Tujuan
Mahasiawa mengetahui aspek sosial,ekonomi dan budaya agroforestry
BAB.II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Agroforestry
Agroforestry menurut Huxley (dalam Suharjito et al.) merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.
Agroforestry telah menarik perhatian peneliti-peneliti teknis dan sosial akan pentingnya pengetahuan dasar pengkombinasian antara pepohonan dengan tanaman tidak berkayu pada lahan yang sama, serta segala keuntungan dan kendalanya. Penyebarluasan agroforestry diharapkan bermanfaat selain mencegah
perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumber daya hutan, dan meningkatnya mutu pertanian serta menyempurnakan intesifikasi dari diversifikasi silvikultur (Hariah et al, 2003).
2.2. Sejarah Perkembangan Agroforestry
Pemikiran tentang pengkombinasian komponen kehutanan dengan pertanian sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Pohon-pohon telah dimanfaatkan dalam sistem pertanian sejak pertama kali aktivitas bercocok tanam dan memelihara ternak dikembangkan. Sekitar tahun 7000 SM terjadi perubahan budaya manusia dalam mempertahankan eksistensinya dari pola berburu dan mengumpulkan makanan ke bercocok tanam dan beternak. Sebagai bagian dari proses ini mereka menebang pohon, membakar serasah dan selanjutnya melakukan budidaya tanaman. Dari sini lahirlah pertanian tebas bakar yang merupakan awal agroforestry.
Tradisi pemeliharaan pohon dalam bentuk kebun pada areal perladangan, pekarangan dan tempat-tempat penting lainnya oleh masyarakat tradisional itu dikarenakan nilai-nilainya yang dirasakan tinggi sejak manusia hidup dalam hutan. Menurut Hariah (2003) pada akhir abad XIX, pembangunan hutan tanam menjadi tujuan utama. Agroforestry dipraktekkan sebagai sistem pengelolaan lahan. Pada pertengahan 1800-an dimulai penanaman jati di sebuah daerah di Birma oleh Sir Dietrich Brandis. Penanaman jati dilakukan melalui taungya, diselang-seling atau dikombinasikan dengan tanaman pertanian. Kelebihan sistem
ini bukan hanya dapat menghasilkan bahan pangan, tetapi juga dapat mengurangi biaya pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman yang memang sangat mahal. Selanjutnya taungya dikenal di Indonesia sebagai tumpangsari. Banyak ahli yang
berpendapat bahwa sistem taungya adalah cikal bakal agroforestri modern. Agroforestry klasik atau tradisional sifatnya lebih polikultur dan lebih besar manfaatnya bagi masyarakat setempat dibandingkan agroforestry modern. Agroforestry modern hanya melihat komuninasi antara tanaman keras atau pohon komersial dengan tanaman sela terpilih. Dalam agroforestry modern, tidak terdapat lagi keragaman kombinasi yang tinggi dari pohon yang bermanfaat atau juga satwa liar yang menjadi terpadu dari sistem tradisional (Hariah K et al, 2003)
2.3. Ruang Lingkup Agroforestry
Pada dasarnya agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu : kehutanan, pertanian, dan peternakan. Masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau kelompok produk yang serupa. Menurut Sa’ad (2002) Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi
yakni:
1 Agrosilvikultur merupakan kombinasi tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi hasil-hasil pertaniandan kehutanan.
2 Silvopastura merupakan kombinasi padang rumput (makanan ternak dan pohon), pengelolaan lahan hutan yang memproduksi hasil kayu dengan, dan sekaligus pemeliharaan ternak.
3 Agrosilvopastural merupakan kombinasi tanaman, padang rumput (makanan ternak dan pohon) pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak.
4 Silvofishery merupakan kombinasi kegiatan kehutanan dan perikanan.
5 Apiculture merupakan budi daya lebah madu yang dilakukan pada komponen kehutanan.
6 Sericulture merupakan budi daya ulat sutra yang dilakukan pada komponen kehutanan.
Dalam bahasa Indonesia , kata agroforestry dikenal dengan istilah wana tani yang artinya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De foresta dan Michon (dalam Hariah et al.) agroforestry dapat dikelompokkan
menjadi dua sistem yakni :
1 Agroforestry sederhana merupakan sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lainnya misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.
2 Agroforestry kompleks merupakan sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan, contohnya hutan dan kebun.
2.4.Tujuan dan Sasaran Agroforestry
Agroforestry merupakan bentuk dari sistem pertanian yang orisinil di daerah-daerah yang semula lahannya berupa hutan. Sistem agroforestry memiliki peluang yang menjanjikan dengan produksi tanaman semusim dan tahunan, tetapi juga mengintegrasikan usaha peternakan. Secara ekologis agronomis, ternyata dapat menunjukkan banyak manfaat yang tidak dijumpai pada sistem agroforestry maka secara umum pohon-pohon akan menyediakan struktur pemanenan di atas dan di bawah tanah bagi sistem tanam (Arief, 2001).
Sebagaimana pemanfatan lahan lainnya, agroforestry dikembangkan untuk memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestry diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan sering kali sifatnya mendesak. Agroforestry utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem keberlanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan.
Adapun yang menjadi tujuan dari pelaksanaan sistem agroforestry menurut Von Maydell (dalam Hariah et al.) yakni : menjamin dan memperbaiki kebutuhan pangan, memperbaiki penyediaan energi lokal khususnya produksi kayu bakar, meningkatkan dan memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi bahan mentah kehutanan maupun pertanian, memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat miskin banyak dijumpai, memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat (Hariah et al , 2003).
2.5.Kajian Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestry
Terdapat empat aspek dasar yang mempengaruhi keputusan petani untuk menerapkan atau tidak menerapkan agroforestri, yaitu:
Ø Kelayakan (feasibility)
Ø Keuntungan (profitability)
Ø Dapat tidaknya diterima (acceptibility)
Ø Kesinambungan (sustainability)
2.5.1. Kelayakan (Feasibility)
Faktor kelayakan mencakup aspek apakah petani mampu mengelola
agroforestri dengan sumber daya dan teknologi yang mereka punyai, apakah
mereka mampu untuk mempertahankan dan bahkan mengembangkan sumber
daya dan teknologi tersebut.
1 Sumber Daya yang Tersedia
Status ekonomi
Hutan merupakan sistem penggunaan lahan yang ‘tertutup’ dan tidak ada campur tangan manusia. Masuknya kepentingan manusia secara terbatas misalnya pengambilan hasil hutan untuk subsisten tidak mengganggu hutan dan fungsi hutan. Tekanan penduduk dan ekonomi yang semakin besar mengakibatkan pengambilan hasil hutan semakin intensif (misalnya penebangan kayu) dan bahkan penebangan hutan untuk penggunaan yang lain misalnya perladangan, pertanian atau perkebunan. Gangguan terhadap hutan semakin besar sehingga fungsi hutan juga berubah
Penanaman pohon-pohon ditentukan oleh faktor tingkat kekayaan (menurut ukuran lokal) dan status lahan. Jumlah rumah tangga miskin (menguasai lahan sempit) yang menanam pohon-pohon lebih sedikit daripada rumah tangga kaya, demikian pula jumlah pohon yang ditanam oleh rumatangga miskin lebih sedikit daripada jumlah pohon rumah tangga kaya (menguasai lahan luas). Rumah tangga miskin yang menguasai lahan sempit lebih cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman pangan atau tanaman perdagangan daripada tanaman pohon-pohon (Brokensha dan Riley, 1987).
Di hutan tumbuh beraneka spesies pohon yang menghasilkan kayu dengan berbagai ukuran dan kualitas yang dapat dipergunakan untuk bahan bangunan (timber). Kayu bangunan yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi.
Luas lahan
Hutan menempati ruangan (space) di permukaan bumi, terdiri dari komponen-komponen tanah, hidrologi, udara atau atmosfer, iklim, dan sebagainya dinamakan ‘lahan’. Lahan sangat bermanfaat bagi berbagai kepentingan manusia sehingga bisa memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pemilikan lahan yang sempit cenderung mengurangi minat budidaya pohonpohon Peningkatan kepadatan penduduk berarti peningkatan ketersediaan tenaga kerja per unit lahan, sehingga petani lebih memilih tanaman-tanaman yang lebih intensif (Berenschot et al., 1988; Pengaruh luas lahan terhadap pilihan praktek agroforestri tergantung pada faktor lainnya, misalnya ketersediaan alternatif sumber-sumber ekonomi
keluarga dan pola komposisi jenis tanaman menurut intensitas waktu panen.
Kualitas lahan
Berdasarkan penelitiannya pada masyarakat petani di Peru – Amazon, Loker (1993) menunjukkan bahwa dalam kondisi alam yang sulit (lahan tidak subur atau miskin) petani Peru telah mengembangkan sistem pertanian campuran
yang mencakup budidaya tanaman setahun (a.l. padi, jagung, ubi kayu), budi daya tanaman tahunan (a.l. sitrus, mangga), dan pemeliharaan ternak sapi. Lahan yang tersedia sangat luas, sedangkan ketersediaan tenaga kerja terbatas. Pemeliharaan ternak sapi, meskipun dipandang telah menyebabkan kerusakan lingkungan (degradasi lahan), merupakan strategi hidup yang penting dan memberikan keuntungan ganda bagi peternak. Dengan penggunaan lahan cara agroforestry akan meningkatkan produktivitas tanah salah satunya dipengaruhi oleh sifat fisik tanah sehingga pengolahan tanah yang baik dan teratur dapat meningkatkan kesuburan fisik tanah (Nawawi, 2001).tersedianya unsur hara dalam tanah akibat dari serasah yang terurai akan meningkatkan bahan organik di dalam tanah atau lahan dan kualitas lahanpun terjamin untuk meningkatkan produksi.
Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap jasa lingkungan (environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung DAS (daerah aliran sungai),mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran agroforestri dalam mepertahankan fungsi DAS dan pengurangan konsentrasi gas rumah kaca diatmosfer melalui penyerapan gas CO2 yang telah ada di atmosfer oleh tanaman dan mengakumulasikannya dalam bentuk biomasa tanaman, maka agroforestri sering dipakai sebagai salah satu contoh dari “Sistem Pertanian Sehat” (Widianto, et al. 2003).
Tenaga kerja dan alokasinya
Pengelolaan agroforestri melibatkan suatu organisasi sosial. Pada tingkat keluarga atau rumah tangga terwujud pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak. Pengelolaan agroforestri oleh suatu keluarga atau rumah tangga merupakan bagian dari keseluruhan pengelolaan sumber daya keluarga atau rumah tangga. Ketersediaan tenaga kerja dan pola pembagian kerja dalam keluarga atau rumah tangga mempengaruhi pilihannya
untuk mengembangkan agroforestri.
Pengaruh faktor ketersediaan tenaga kerja terhadap pilihan budi daya pohon pohon ditunjukkan oleh kasus di pedesaan Jawa (Berenschot et al.,1988; Van Der Poel dan Van Dijk, 1987) dan Afrika bagian Timur (Warner, 1995). Rumah tangga yang kekurangan tenaga kerja pada musim-musim tertentu karena kegiatan migrasi cenderung membudidayakan pohon-pohon karena budi daya pohon-pohon membutuhkan masukan tenaga kerja yang rendah dan memberikan pendapatan yang relatif tinggi.
Paolisso et al. (1999) berdasarkan penelitiannya di Yuscaran – Honduras, menjelaskan bahwa respon rumah tangga petani terhadap degradasi lahan dipengaruhi oleh gender dan struktur demografi rumah tangga. Kultur masyarakat Yuscaran menekankan bahwa pertanian adalah pekerjaan laki-laki. Namun kondisi degradasi lahan pertanian telah meningkatkan peran perempuan pada kegiatan pertanian. Curahan waktu kerja laki-laki pada budidaya jagung secara positif dipengaruhi oleh kualitas lahan dan secara negatif oleh kemudahan (kepekaan) erosi lahan. Tenaga kerja laki-laki pada rumah tangga yang lahan pertaniannya marjinal (miskin) dan peka erosi cenderung meninggalkan pertaniannya dan bekerja di sektor non-pertanian (offfarm). Sehingga beban tenaga kerja perempuan cenderung bertambah berat, yakni bukan hanya bertanggung jawab untuk kegiatan reproduksi melainkan juga untuk kegiatan produksi yakni bekerja pada lahan pertaniannya. Peran tenaga kerja perempuan tersebut tergantung ketersediaan tenaga kerja anak dewasa yang dapat membantu bekerja dan keberadaan anak bayi dan balita.
2 Teknologi pendukung
Banyak penelitian yang menghasilkan rekomendasi penanganan dan pemecahan masalah yang dihadapi petani dalam mengelola agroforestri. Kenyataannya, banyak petani yang tidak melaksanakan apa yang direkomendasikan oleh peneliti. Alasan utama yang menyebabkan penolakan adopsi inovasi di tingkat petani:
a) Terdapat perbedaan pandangan antara penyedia dengan pelaku teknologi
Hasil rekomendasi yang diberikan seringkali didasarkan pada sudut pandang atau pengetahuan peneliti. Rekomendasi yang diberikan adalah apa yang
seharusnya dilakukan bila dilihat dari sudut pandang ilmiah. Namun para petani memiliki pertimbangan dan pemahaman yang berbeda, sehingga apa yang mereka lakukan tidak selalu sesuai dengan rekomendasi atau tawaran teknologi yang diberikan oleh peneliti.
b) Ada hambatan komunikasi antara penyedia dengan pelaku teknologi
Rekomendasi teknologi seringkali dikemas dengan bahasa ilmiah. Bahasa ilmiah sangat berbeda dengan bahasa petani. Bahasa ilmiah seringkali sulit dicari padanannya dalam bahasa sehari-hari. Hambatan komunikasi antara penyedia dengan pelaku teknologi kemungkinan juga disebabkan oleh rendahnya penyediaan sarana dan prasarana komunikasi, termasuk kelangkaan tempat atau orang di mana pelaku teknologi dapat bertanya tentang masalah agroforestri pada lahannya. Terbinanya komunikasi yang lebih intim antara penyedia dan pelaku teknologi dapat meningkatkan kepekaan peneliti akan masalah yang dihadapi di lapangan.
c) Penyeragaman teknologi untuk berbagai plot pada berbagai bentang lahan
Bentang lahan yang berbeda akan mempunyai sifat dan ciri yang berbeda pula, sehingga setiap sistem agroforestri pada bentang lahan yang berbeda akan
memerlukan penanganan dan teknologi yang berbeda.
3 Orientasi produksi
Alasan utama yang mendasari keputusan rumah tangga petani untuk menerapkan agroforestri adalah keuntungan finansial dari hasil pohon. Namun banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang dapat disediakan dari sistem agroforestri merupakan pendorong utama sebagian besar rumah tangga petani untuk menanam pohon. Perubahan pertanian dari yang semula subsisten menjadi semakin komersial menyebabkan penanaman pohon pada skala petani menjadi lebih rentan terhadap pengaruh ekonomi. Kemudahan akses ke pasar untuk menjual hasil pohon menciptakan peluang terciptanya sumber penghasilan, dan memberikan peluang untuk menukar input yang semula tersedia dari pohon dengan input lain, misalnya pupuk.
a Dari subsisten ke komersial
Orientasi produksi agroforestri dapat dibedakan menjadi subsisten dan komersial. Orientasi ekonomi masyarakat berburu-meramu (hunting dan gathering), peladang berpindah (ladang gilir-balik = shifting cultivation atau swidden agriculture), dan petani kecil (peasant) adalah subsisten, artinya kegiatan ekonominya diorientasikan terutama untuk memenuhi kebutuhan keluarga (konsumsi), bukan untuk meningkatkan modal (kapital) melalui investasi ulang (reinvestation). Sedangkan petani besar yang mengusahakan tanaman perdagangan cenderung berorientasi komersial. Pengertian subsisten dan komersial dalam tulisan ini dimaksudkan secara sederhana untuk menggambarkan adanya orientasi produksi agroforestri untuk dikonsumsi sendiri atau untuk dipasarkan, bukan dimaksudkan untuk menggambarkan adanya model produksi kapitalis (the capitalist mode of production). Orientasi subsisten mengarahkan pilihan-pilihan jenis tanaman untuk dapat dikonsumsi sendiri, sedangkan orientasi komersial mengarahkan pilihan-pilihan jenis tanaman yang dapat dipasarkan. Perubahan orientasi pasar dari subsisten ke komersial seringkali merupakan ancaman terhadap keberlanjutan sistem agroforestri.
b Kehidupan yang semakin konsumtif
Layanan lingkungan sebagai salah satu peran penting agroforestri menjadi
tidak begitu penting. Hal ini terjadi pada daerah yang mengalami 1) integrasi yang lebih besar ke dalam suatu ekonomi pasar, yang mengutamakan kebutuhan konsumsi pribadi jangka pendek di atas kebutuhan hidup komunal dalam jangka panjang, atau 2) kemiskinan begitu ekstrim hingga hanya bisa menjamin kelangsungan hidup sehari-hari (Rhoades, 1988 dalam Reinjtjes et al., 1992). Meningkatnya hubungan masyarakat desa dengan masyarakat industri/kota, dapat menyebabkan makin tingginya kebutuhan uang untuk membeli produk industri, atau menciptakan kehidupan yang lebih konsumtif.
c Pemenuhan kebutuhan
Untuk konsumsi sendiri dan pemasaran lokal secara langsung, bukan hanya kuantitas, tetapi juga kualitas menjadi bahan pertimbangan penting. Kemudahan akses ke pasar dan harga pasar bagi produk pertanian dibandingkan pohon akan menentukan apakah petani memilih menanam pohon di lahan mereka atau tidak.
4 Pengetahuan lokal petani
Diseminasi informasi tentang teknik-teknik agroforestri seringkali merupakan isu yang agak sensitif. Dalam mempromosikan teknik agroforestri, peneliti dan pakar harus menyadari dan peka terhadap peran dan pengetahuan petani akan lahan mereka sendiri. Mereka juga harus peka terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga petani. Petani telah mempraktekkan agroforestri selama berabad-abad. Tidak jarang mereka berpedoman bahwa lebih baik menerapkan teknik yang sudah biasa mereka lakukan dibandingkan dengan menerapkan sesuatu yang masih baru (dan dibawa oleh orang luar). Petani akan lebih mudah mengadopsi agroforestri jika mereka terbiasa dengan penggunaan pohon dalam sistem pertanian, dan mengetahui bahwa integrasi pohon ke dalam proses produksi pangan telah sukses dilakukan oleh petani yang lain. Memang, risiko kegagalan akan lebih besar pada petani dengan teknik ilmiah baru daripada dengan teknik tradisional. Jadi inovasi penyesuaian terhadap teknik tradisional akan mengurangi risiko kegagalan agroforestri.
5 Kebijakan pendukung
Kebijakan pemerintah dapat menjadi pendorong agroforestri ke arah kegagalan atau keberhasilan. Beberapa kebijakan yang menghambat produksi dan penjualan atau pemasaran produk agroforestri sedapat mungkin diperbaiki. Sebagai contoh, perubahan kebijakan penanaman cendana di Nusa Tenggara Barat. Perubahan kebijakan pada tahun 1999 mendorong petani untuk menerapkan agroforestri dengan cendana sebagai salah satu komponennya. Sebelumnya, petani menganggap cendana sebagai ‘kayu pembawa bencana’. Kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak misalnya dapat mengakibatkan semakin tingginya harga input produksi tanaman pangan. Hal ini ditunjang dengan pengurangan subsidi pupuk sampai ke tingkat harga yang tidak terjangkau petani. Di pihak lain, pada lahan-lahan yang kualitas kesuburannya rendah, kebutuhan pupuk semakin besar jika petani ingin mempertahankan tingkat produksi. Kondisi ini dapat dimanfaatkan sebagai pendorong bagi penerapan dan pengembangan agroforestri
2.5.2.Keuntungan (Profitability)
Agroforestri lebih menguntungkan dibandingkan sistem penggunaan lahan yang lain, perlu diingat bahwa sistem produksi agroforestri memiliki suatu kekhasan, di antaranya:
Ø Menghasilkan lebih dari satu macam produk
Ø lahan yang sama ditanam paling sedikit satu jenis tanaman semusim dan satu jenis tanaman tahunan/pohon
Ø Produk-produk yang dihasilkan dapat bersifat terukur (tangible) dan tak terukur (intangible)
Ø Terdapat kesenjangan waktu (time lag) antara waktu penanaman dan pemanenan produk tanaman tahunan/pohon yang cukup lama
Analisis ekonomi terhadap suatu sistem agroforestri harus memperhatikan ciri ciri sistem agroforestri tersebut di atas.
1) Konsep ekonomi
Sistem agroforestri dapat dikatakan menguntungkan apabila 1) dapat menghasilkan tingkat output yang lebih banyak dengan menggunakan jumlah input yang sama, atau 2) membutuhkan jumlah input yang lebih rendah untuk menghasilkan tingkat output yang sama. Kondisi ini dicapai apabila ada interaksi antar komponen yang saling menguntungkan baik dari segi biofisik, maupun ekonomi. Interaksi biofisik (dalam Bahan Ajaran 4) sebenarnya mencerminkan interaksi ekonomi, apabila output fisik per satuan lahan diubah menjadi nilai uang per satuan biaya faktor produksi. Seperti juga dalam interaksi biofisik, interaksi ekonomi antar komponen dalam sistem agroforestri dapat bersifat menguntungkan, netral, maupun kompetitif. Dasar penerapan agroforestri adalah interaksi biofisik yang positif, yang akan menghasilkan interaksi ekonomi yang positif pula Kenaikan output pada tingkat sumber daya yang sama, dapat disebabkan oleh kenaikan jumlah output fisik atau kenaikan harga per satuan output. Yang pertama mungkin disebabkan interaksi biofisik yang positif, yang kedua dapat disebabkan kualitas produk atau waktu panen yang tepat. Demikian juga penurunan biaya input dapat disebabkan oleh penurunan jumlah output yang dibutuhkan, atau penurunan harga per satuan input. Pada umumnya, interaksi biofisik yang positif akan menghasilkan penurunan biaya input, misalnya dari segi tenaga kerja dan penggunaan sumber daya yang lain.
Adanya naungan pohon dapat menekan pertumbuhan gulma, sehingga kebutuhan tenaga kerja berkurang. Dengan adanya berbagai komponen dengan waktu panen yang berbeda, distribusi tenaga kerja menjadi merata. Contoh yang lain, di Costa Rica kopi yang ditanam di bawah naungan Cordia alliodora mengalami panen raya 2,5 minggu lebih lambat dibandingkan dengan yang tanpa naungan (Hoekstra, 1990). Hal ini membuat petani memiliki posisi tawar yang relatif tinggi, karena terhindar dari surplus produksi pada saat yang bersamaan.
a) Kurva kemungkinan produksi
Analisis ekonomi terhadap suatu sistem agroforestri harus memperhatikan ciriciri sistem agroforestri. Hal itu dapat dijelaskan dengan penggunaan kurva kemungkinan produksi bagi kombinasi produksi tanaman setahun dan tanaman tahunan/pohon (Gambar 1). Kurva Kemungkinan Produksi Jangka Pendek (Nair, 1993)
Pada kondisi nyata di lapangan, produksi dari suatu sistem agroforestri membutuhkan jangka waktu lama untuk dapat menghasilkan produk dari spesies tanaman tahunan. Selain itu manfaat keberadaan sistem agroforestri terhadap lingkungan tidak bisa dilihat dalam waktu pendek. Oleh karena itu analisis jangka panjang dianggap lebih tepat untuk melihat keseluruhan keuntungan yang dapat diberikan oleh suatu sistem agroforestri. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui kurva kemungkinan produksi jangka panjang yang berbentuk tiga dimensi (Gambar 2). Kemungkinan Produksi Jangka Panjang (Nair, 1993).
Hasil-hasil penelitian memperlihatkan bahwa sistem pertanaman monokultur tanaman semusim/pangan dalam jangka panjang menyebabkan terjadinya penurunan kesuburan lahan yang akhirnya mengakibatkan penurunan produksi tanaman dari tahun ke tahun. Pada Gambar 2 hal itu diperlihatkan apabila produksi tanaman semusim secara monokultur pada saat ini adalah C maka pada jangka panjang tingkat produksi tanaman semusim akan menurun menjadi C'.Oleh karena itu pertanian monokultur umumnya membutuhkan penambahan pupuk buatan maupun pupuk organik yang jumlahnya semakin meningkat setiap tahun. Apabila kebutuhan pangan keluarga itu sebesar S, yang berjumlah tetap dalam jangka panjang (S'), maka kemungkinan kebutuhan subsisten tersebut tidak akan bisa dipenuhi (S' > C'). Sedangkan penanaman tanaman tahunan/pohon jenis-jenis tertentu mampu menjaga kesuburan lahan atau bahkan meningkatkan kesuburan lahan, melalui kemampuan pohon untuk melakukan daur ulang unsur hara. Gambar 2 memperlihatkan produksi tanaman tahunan pada masa sekarang M dan pada masa yang akan datang menjadi M'.Pencampuran tanaman semusim/pangan dan pohon dalam jangka panjang akan menjaga penurunan kesuburan lahan dan produksi tanaman pangan.
Apabila pada saat ini kita menanam tanaman tahunan sebesar a yang dalam jangka panjang akan menjadi a'. Tanaman tahunan/pohon diharapkan mampu mempertahankan kesuburan lahan, sehingga tidak terjadi penurunan produksi tanaman pangan secara drastis pada masa yang akan datang. Apabila hal ini terpenuhi, paling tidak kebutuhan subsisten keluarga akan masih terpenuhi dalam jangka panjang (a").
b) Cara melakukan analisis ekonomi terhadap sistem agroforestri
Tidak seperti sistem produksi yang lain, agroforestri bertujuan untuk kesinambungan produksi. Oleh karena itu, salah satu keuntungan yang diperoleh adalah mencegah terjadinya penurunan output dari sistem produksi masa kini. Salah satu karakteristik agroforestri adalah terjadinya penundaan memperoleh sebagian keuntungan, sedangkan biaya produksi harus dikeluarkan pada awal pelaksanaan. Oleh karena itu, analisis jangka pendek menghasilkan taksiran keuntungan yang lebih rendah dari sesungguhnya, dan hasilnya seolah-olah tidak ekonomis. Gambar 3 menunjukkan konsep pengaruh keuntungan oleh sistem agroforestri.
Gambar 3. Ouput lingkungan dari sistem agroforestri: kelestarian (kiri), peningkatan
(tengah), dan kelestarian serta peningkatan (kanan).
Evaluasi 'dengan' atau 'tanpa' agroforestri
Pendekatan dengan membandingkan antara sistem ‘dengan’ dan ‘tanpa’ agroforestri dianggap sesuai untuk evaluasi ekonomi dari suatu sistem
agroforestri, karena antara lain:
Tidak seperti sistem produksi yang lain, agroforestri bertujuan untuk kesinambungan produksi. Oleh karena itu, salah satu keuntungan yang diperoleh adalah mencegah terjadinya penurunan output dari sistem produksi masa kini. Gambar 3 menunjukkan konsep pengaruh keuntungan oleh sistem agroforestri. Gambar 3 kiri, menunjukkan bahwa agroforestri dapat mempertahankan output, yang mungkin akan selalu mengalami penurunan jika melanjutkan sistem produksi yang telah ada. Gambar 3 tengah menunjukkan bahwa agroforestri mampu meningkatkan produktivitas dari sistem produksi masa kini yang relatif tetap. Sedangkan Gambar 3 kanan menunjukkan bahwa agroforestri bukan hanya dapat mempertahankan produksi tetapi juga dapat meningkatkan produktivitas.
c) Discount rate
Tidak semua biaya dan keuntungan dari agroforestri didapatkan pada saat yang sama, tetapi tersebar selama dilaksanakannya agroforestri. Biaya dan keuntungan tersebut dapat dengan mudah dibandingkan, kalau terdapat pada saat yang sama. Kenyataannya, biaya dan keuntungan dalam agroforestri tidak datang bersamaan, sehingga tidak dapat dibandingkan secara langsung. Dengan mengaplikasikan discount rate, kedua hal tersebut dapat dibandingkan.
2) Indikator finansial
Sistem agroforestri menghasilkan bermacam-macam produk yang jangka waktu pemanenannya berbeda, di mana paling sedikit satu jenis produknya membutuhkan waktu pertumbuhan yang lebih dari satu tahun. Untuk melihat sejauh mana suatu usaha agroforestri memberikan keuntungan, maka analisis yang paling sesuai untuk dipakai adalah analisis proyek yang berbasis finansial.
Analisis finansial pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Melalui cara berpikir seperti itu maka harus ada ukuran-ukuran terhadap kinerjanya. Ukuran-ukuran yang digunakan umumnya adalah
Ø Net Present Value (NPV) atau Nilai Kiwari Bersih,
Ø Benefit Cost Ratio (BCR) atau Rasio Keuntungan Biaya dan
Ø Internal Rate of Return (IRR).
Analisis finansial ditelaah melalui perhitungan dan kriteria investasi yang
meliputi:
Ø Net Present Value (NPV), yaitu nilai saat ini yang mencerminkan nilai keuntungan yang diperoleh selama jangka waktu pengusahaan dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money.
Karena jangka waktu kegiatan suatu usaha agroforestri cukup panjang, maka tidak seluruh biaya bisa dikeluarkan pada saat yang sama, demikian pula hasil yang diperoleh dari suatu usaha agroforestri dapat berbeda waktunya. Untuk mengetahui nilai uang di masa yang akan datang dihitung pada saat ini, maka baik biaya maupun pendapatan agroforestri di masa yang akan datang harus dikalikan dengan faktor diskonto yang besarnya tergantung kepada tingkat suku bunga bank yang berlaku dipasaran.
Suatu usaha termasuk usaha agroforestri akan dikatakan menguntungkan dan sebagai implikasinya akan diadopsi oleh masyarakat atau dapat berkembang, apabila memiliki nilai NPV yang positif. Besaran NPV yang negatif menunjukkan kerugian dari usaha yang dilakukan sehingga tidak layak untuk diusahakan. Makin besar angka NPV maka makin baik ukuran kelayakan usaha. Walaupun demikian untuk lebih jelas melihat tingkat keuntungan dan kerugian suatu usaha maka perlu dilihat tingkat Keuntungan Biaya (Benefit Cost Ratio) dari usaha tersebut.
Ø Benefit Cost Ratio (BCR) yaitu perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran selama jangka waktu pengusahaan (dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money)
Ø Internal Rate of Returns (IRR) menunjukkan tingkat suku bunga maksimum yang dapat dibayar oleh suatu proyek/usaha atau dengan kata lain merupakan kemampuan memperoleh pendapatan dari uang yang diinvestasikan.
Dalam perhitungan, IRR adalah tingkat suku bunga apabila BCR yang terdiskonto sama dengan nol. Usaha agroforestri akan dikatakan layak apabila nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku di pasar pada saat tersebut.
3) Sensitivitas dan Resiliensi
Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kepekaan sebuah kegiatan (proyek) terhadap adanya perubahan-perubahan. Perubahan yang dimaksud baik berupa perubahan nilai input maupun nilai output serta perubahan tingkat suku bunga. Analisis tersebut, bukan saja dapat dipakai untuk mengetahui kepekaan proyek yang bersangkutan, tetapi juga dapat digunakan untuk membandingkan antar alternatif proyek. Sedangkan resiliensi menunjukkan daya tahan usaha agroforestri terhadap berbagai perubahan.
4) Analisis Komparatif
Analisis komparatif ditujukan untuk menentukan pilihan berdasarkan : nilai finansial terbesar dan risiko dari implikasi kebijakan baik yang bersifat insentif maupun disinsentif terhadap sumber daya alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Analisis komparatif yang dimaksud di sini adalah perbandingan antara penggunaan lahan untuk agroforestri dengan penggunaan lahan non agroforestri.
5) Kontribusi pendapatan rumah tangga dan perekonomian wilayah
Agroforestri sebagai suatu sistem produksi tentunya memberikan pendapatan terhadap pengelolanya baik langsung maupun tidak langsung. Analisis ekonomi yang banyak dilakukan di Indonesia adalah melihat seberapa besar suatu sistem agroforestri memberikan kontribusi terhadap pendapatan total keluarga dan juga bagaimana kontribusi hasil dari suatu sistem agroforestri terhadap perekonomian daerah setempat.
2.5.3. Kemudahan untuk diterima (Acceptibility)
Sistem agroforestri dapat dengan mudah diterima dan dikembangkan kalau manfaat sistem agroforestri itu lebih besar daripada kalau menerapkan sistem lain. Aspek ini mencakup atas perhitungan risiko, fleksibilitas terhadap peran gender, kesesuaian dengan budaya setempat, keselerasan dengan usaha yang lain, dsb.
Risiko usaha
Rumah tangga petani dengan lahan sempit sangat mementingkan distribusi produksi yang merata dari waktu ke waktu, sehingga mengamankan kebutuhan sepanjang tahun dan mendayagunakan sumber tenaga kerja yang ada. Jaminan keamanan termasuk meminimalkan risiko produksi atau kerugian sebagai akibat keragaman proses ekologis, ekonomis, atau sosial.
Keragaman ini meliputi fluktuasi ‘kecil’, misalnya perubahan cuaca, serangan hama, perubahan permintaan pasar, taksiran sumber daya, ketersediaan tenaga kerja; atau gangguan ‘besar’, yang disebabkan stress (misalnya kemiskinan
unsur hara, erosi, salinitas, keracunan, utang) atau shock (misalnya kekeringan, banjir, munculnya serangan hama atau penyakit baru, kenaikan harga input yang tajam atau merosotnya harga produk). Ilmuwan seringkali mengungkapkan tingkat keamanan dalam variabilitas produksi, yang didasarkan pada risiko statistik (misalnya kekeringan). Namun petani mungkin menilai keamanan sistem usaha tani mereka menurut keamanan pangan, atau menurut tingkat ketergantungan dalam mendapatkan input, atau dalam pemasaran hasil (Conway, 1987 dalam Reijntjes et al., 1992).
Bagi petani dengan lahan sempit, keamanan produksi bahan subsisten atau
pendapatan adalah hal penting, mengingat keberlanjutan hidup mereka tergantung padanya. Oleh karena itu, mereka membutuhkan akses yang aman pada sumber daya seperti lahan, air, dan pepohonan. Pencarian keamanan mempengaruhi pilihan teknik dan strategi.
Identitas sosial budaya
Sistem penggunaan lahan yang diterapkan secara perorangan harus selaras dengan budaya setempat dan visi masyarakat terhadap kedudukan dan hubungan mereka dengan alam. Bentuk bentang lahan penggunaan lahan dan perkembangannya merupakan bagian dari identitas masyarakat yang hidup di dalamnya. Petani biasanya memiliki kebutuhan yang kuat untuk memihak pada budaya setempat. Sejarah dan tradisi memainkan peranan penting dalam kehidupan, cara dan sistem penggunaan lahan mereka. Perubahan yang tidak selaras dengan nilai-nilai sosial, budaya, spiritual mereka, bisa menyebabkan stress dan menciptakan kekuatan yang berlawanan.
Gender
Gender menggambarkan peran laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari konstruksi sosial budaya. Perbedaan gender dalam suatu masyarakat menggambarkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan, bukan disebabkan oleh perbedaan biologis, melainkan oleh nilai-nilai, norma-norma, hukum, ideologi dari masyarakat yang bersangkutan. Karena gender merupakan hasil konstruksi sosial budaya, maka perbedaan gender dalam suatu masyarakat dapat berubah dari waktu ke waktu.
Dalam aktivitas kehutanan dan agroforestri, perbedaan peran laki-laki dan perempuan tidak terlepas dari perspektif gender dari masyarakatnya. Dalam suatu kelompok masyarakat tertentu perempuan diberi peran penting dalam aktivitas dan akses pada sumber daya agroforestri, sedangkan dalam masyarakat lainnya peran perempuan dipinggirkan atau dimarginalkan. Pemahaman terhadap aspek gender ini sangat penting dalam upaya pengembangan agroforestri untuk mencapai keberhasilan fisik agroforestri maupun sosial ekonomi pengelola agroforestri.
Kesempatan kerja di luar lahan atau di luar sektor pertanian
Penghasilan lain dari luar (off-farm) atau di luar sektor pertanian ini (non-farm) juga memberikan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan tunai jangka pendek, yang tidak bisa menunggu sampai musim panen tiba. Jenis pekerjaan lain yang paling mudah menghasilkan tunai adalah menjual tenaga di bidang pertanian misalnya sebagai buruh tani. Pekerjaan di luar pertanian adalah pedagang, usaha transportasi, tenaga kasar, tukang, karyawan swasta, pemerintah, dan sebagainya. Seringkali dijumpai petani yang merangkap sebagai sopir, pedagang, pegawai, ternyata memiliki tingkat penghasilan yang lebih baik daripada menjadi petani saja. Mereka memiliki kelebihan dibandingkan petani murni, misalnya akses terhadap pasar dan informasi, ketahanan terhadap risiko kegagalan usaha tani dan sebagainya. Petani campuran itu ternyata bisa menjalankan usaha taninya dengan lebih efisien, sehingga usaha taninya lebih berkembang (Hairiah et al., 2000).
2.5.4. Jaminan kesinambungan (sustainability)
Sistem penguasaan lahan dan hasil agroforestri (singkatnya sumber daya agroforestri) menggambarkan tentang sekumpulan hak-hak yang dipegang oleh seseorang atau kelompok orang-orang dalam suatu pola hubungan sosial terhadap suatu unit lahan dan hasil agroforestri dari lahan tersebut. Singkatnya, siapa mempunyai hak apa. Hak-hak itu menunjuk pada aspek hukum dari sistem penguasaan sumber daya agroforestri.
1) Penguasaan lahan
Penguasaan lahan (property right) sangat penting dalam pelaksanaan agroforestri. Apabila tidak ada kepastian penguasaan lahan, maka insentif untuk menanam pohon/agroforestri menjadi sangat lemah, mengingat sistem agroforestri merupakan strategi usaha tani dalam jangka panjang. Investasi yang dilakukan dalam pembukaan lahan dan penanaman pohon akan dinikmati dalam waktu yang lebih panjang. Oleh karena itu diperlukan kepastian pengusahaan lahan dan pohon untuk memberikan jaminan kepada petani untuk menikmati hasil panen.
Privatisasi
Beberapa penelitian telah menjelaskan hubungan antara sistem-sistem penguasaan lahan (land tenure systems) dengan praktek agroforestri. Berdasarkan kasus di Mbeere – Kenya, Brokensha dan Riley (1987) menjelaskan bahwa privatisasi atau pemberian hak milik telah mendorong petani menanam pohon pohon karena alasan kepastian penguasaan lahan (the security of land tenure).
Lahan individu, bukan komunal
Kepastian penguasaan lahan dan jaminan memperoleh manfaat dari agroforestri sebagai faktor penentu bagi praktek agroforestri. Murray (1987) menjelaskan bahwa berdasarkan sistem tenurial/kepemilikan lahan yang ada di Haiti (Amerika Latin), petani melaksanakan budidaya pohon-pohon pada lahan milik individual dan tidak bersedia melaksanakanya pada lahan komunal (commonly owned kin-land) atau lahan negara (state land). Hal ini karena lahan
milik sendiri memberikan jaminan memperoleh manfaat yang lebih besar daripada lahan komunal atau lahan negara.
Petani mengadopsi budidaya pohon-pohon lebih karena alasan ekonomi (cashflow) daripada keuntungan ekologisnya. Berdasarkan kasus di Nigeria (Afrika), Adeyoju (1987) menjelaskan bahwa karena agroforestri lebih membutuhkan modal daripada pertanian tradisional, maka kepastian penguasaan lahan (the security of land tenure) diperlukan oleh petani untuk menjamin investasinya.
2) Penguasaan atas pohon
Dalam kasus-kasus tertentu hak atas lahan dipisahkan dari hak atas hasil agroforestri, sedangkan dalam kasus-kasus lainnya hak atas hasil agroforestri melekat pada hak atas lahan yang digunakan untuk agroforestri. Misalnya, pada masyarakat suku Dayak di pedesaan Kalimantan Barat, siapa yang menguasai lahan sekaligus juga menguasai jenis tumbuhan atau tanaman yang tumbuh di atasnya (Peluso dan Padoch, 1996). Pada masyarakat suku Muyu, Irian Jaya, sagu (dan juga tanaman jenis pohon lain) menjadi simbol hak pemilikan suatu unit lahan (Schoorl, 1970), demikian pula di pedesaan Sukabumi, Jawa Barat (Suharjito, 2002) dan Jawa pada umumnya. Fortmann (1988) menjelaskan bahwa penguasaan atas pohon mencakup sekumpulan hak- hak yang dapat dipegang oleh orang yang berbeda pada waktu yang berbeda.
Ø Kategori hak
Terdapat empat kategori hak atas pohon, yaitu (1) hak untuk memiliki atau mewariskan pohon-pohon; (2) hak untuk menanam pohon; (3) hak untuk menggunakan pohon dan hasil dari pohon; (4) hak untuk memindahtangankan pohon: merusak, memberikan, menyewakan, atau menggadaikan (Fortmann, 1988). Karena hasil agroforestri bukan hanya pohon, maka hak-hak tersebut dapat pula dilekatkan pada hasil agroforestri selain pohon.
Ø Kategori pemegang hak
Pemegang hak (right holders) dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu negara (pemerintah), kelompok, rumah tangga, dan individu. Pemerintah memiliki hak-hak dalam (1) mengatur penggunaan lahan dan hasil agroforestri daripadanya yang dimiliki oleh pihak lain; (2) melarang atau membatasi
penggunaan lahan dan hasil agroforestri pada kawasan hutan tertentu, misalnya kawasan lindung; (3) memberikan ijin penggunaan secara terbatas atas lahan dan hasil agroforestri pada kawasan lindung (Fortmann, 1988).
3) Aspek hubungan sosial
Selain dari aspek hukumnya, sistem penguasaan sumber daya agroforestri mengandung aspek hubungan sosial. Hubungan sosial itu dapat berupa hubungan kerja atau bagi hasil antara pemilik agroforestri dengan buruh tani, hubungan sewa atau gadai antara pemilik lahan dengan penyewa atau penggadai lahan, hubungan kontrak lahan antara pemilik lahan dengan pemilik modal yang mengkontrak lahan untuk budidaya agroforestri. Hubungan sosial itu menunjukkan posisi-posisi dan kekuasaan-kekuasaan orang-orang (pihakpihak) yang terlibat. Siapa (pihak) yang memegang kekuasaan lebih besar terhadap sumber daya agroforestri akan menentukan pola hubungan tersebut dan menentukan sistem agroforestri yang dikembangkan.
Adanya perkembangan sosial ekonomi, hubungan-hubungan sosial berkembang dan aturan penguasaan sumber daya agroforestri semakin kompleks. Misalnya di pedesaan Jawa sudah lama berkembang sistem sewa, gadai, bagi hasil sehingga hak atas lahan dapat terpisah dari hak atas tanaman. Bentuk lain pola kerjasama budidaya agroforestri yang melibatkan dua pemegang hak yang terpisah yaitu pemegang hak atas lahan dan pemegang hak atas tanaman adalah sistem tumpangsari yang dikembangkan oleh Perum Perhutani bekerjasama dengan petani (Kartasubrata, 1995), sistem nurut yang dikembangkan oleh petani di Sukabumi (Suharjito, 2002). Pada masyarakat Ende (Lio) juga berkembang sistem kewe, yaitu penyewaan lahan dari pihak pemilik kepada pihak penyewa, penyewa menyerahkan sejumlah uang atau ternak dan ia dapat menggunakan lahan untuk jangka waktu tertentu (Teluma,2002).
BAB.III
KESIMPULAN
Agroforestry menurut Huxley (dalam Suharjito et al.) merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.
Pada dasarnya agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu : kehutanan, pertanian, dan peternakan. Agroforestry utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem keberlanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan.
Di tingkat petani, keputusan untuk menerapkan dan mengembangkan agroforestri mencakup berbagai hal yang jauh lebih kompleks dari sekedar analisis untung-rugi. Suatu sistem penggunaan lahan dinilai dari bagaimana sistem tersebut dapat memenuhi kebutuhan dasar petani, termasuk pangan, papan, dan penghasilan tunai. Sayangnya, sistem penggunaan lahan yang potensial seringkali dibatasi oleh berbagai faktor lain, seperti kebijakan yang berlaku, infrastruktur yang tersedia, aturan-aturan sosial budaya, ketersediaan sumber daya, kemudahan akses terhadap informasi, dsb. Kesemua faktor tersebut mempengaruhi apakah suatu sistem agroforestri layak untuk dikembangkan, menguntungkan baik secara ekonomi maupun dari segi biofisik, dapat diterima atau paling tidak sesuai dengan sosial budaya setempat, dan terjamin kesinambungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Suharjito, Didik, Leti Sundawati, Suryanto, Sri Rahayu Utami. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestri: PDF. ICRAF. Bogor
Suyanto S, Khususiyah N, Permana RP and MD Angeles. 2002. The Role of
Land Tenure in Improving Sustainbale Land Management and Environment in Forest Zone. Draft report of CIFOR/ICRAF fire project.
Schoorl JW. 1970. Muyu Land Tenure. New Guinea Research Bulletin No. 38:
34-41. The New Guinea Research Unit, The Australian National University. Canbera.
Suharjito D dan S Sarwoprasodjo. 1997. Organisasi Keluarga dan Status Wanita
(Studi Kasus Peranan Wanita Pada Keluarga Penyadap Getah Pinus dan Keluarga Petani Hutan Rakyat). Penelitian OPF. Pusat Studi Wanita, Lembaga Penelitian IPB.Bogor.
Suharjito D, Mugniesyah SM, Guhardja S dan Sri Hartoyo. 1997. Hubungan
Perilaku Manusia dan Lingkungan Binaan (Studi Kasus Gender dalam Pembinaan Program Penghijauan di DAS Cimanuk Hulu, Propinsi Jawa Barat). Penelitian Ilmu Pengetahuan Dasar-Ditjen DIKTI. Pusat Studi Wanita, Lembaga Penelitian IPB.Bogor.
Suharjito D. 2002. Kebun-Talun: Strategi Adaptasi Sosial Kultural dan Ekologi
Masyarakat Pertanian Lahan Kering di Desa Buniwangi, Sukabumi-Jawa Barat. Disertasi, Program Studi Antropologi Universitas Indonesia.
Suryanata K. 2002. Dari Pekarangan menjadi Kebun Buah-Buahan: Stabilisasi
Sumber daya dan Diferensiasi Ekonomi di Jawa. Dalam Murray Li T (Penyunting). Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
Teluma, D.L. 2002. Pengembangan Program Wanatani. Dalam Roshetko JM et
al. (editor). Wanatani di Nusa Tenggara. ICRAF dan Winrock International. Bogor.
Van der Poel P and H van Dijk. 1987. Household Economy and Tree Growing in
Upland Central Java. Agroforestry Systems No. 5: 169-184. Martinus Nijhoff Publishers. Dordrecht. The Netherlands.
Wijayanto N. 2001. Faktor dominan dalam sistem pengelolaan hutan
kemasyarakatan. Disertasi S3, PPS-IPB. Bogor.